Idarah
LANGKAH TAKTIS DALAM TATA KELOLA IDARAH MASJID
Oleh Dr. H. Ahmad Zaki Mubarak
A. Prasyarat Takmir Masjid
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam memakmurkan masjid adalah mengelola sumber daya manusia bernama “Takmir Masjid”. Para Takmir ini harus dididik agar memiliki wawasan kemasjidan dari mulai Trilogi Kemasjidan sampai pada pengembangan ekonomi berbasis masjid. Mereka harus memiliki prasyarat yang kami akronimkan menejadi “Nikahi Saza Hati”
Konsep ini berasal dari QS Attaubah: 18
اِنَّمَا يَعْمُرُ مَسٰجِدَ اللّٰهِ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ وَلَمْ يَخْشَ اِلَّا اللّٰهَ ۗفَعَسٰٓى اُولٰۤىِٕكَ اَنْ يَّكُوْنُوْا مِنَ الْمُهْتَدِيْنَ
Artinya:
Sesungguhnya yang (pantas) memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, mendirikan salat, menunaikan zakat, serta tidak takut (kepada siapa pun) selain Allah. Mereka itulah yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.
Gambar 2.1
Konsep Prasyarat Takmir Masjid
Ada dua kriteria yang harus dipenuhi oleh Takmir, yaitu prasyarat dan syarat. Prasyarat seperti yang dijelaskan dalam At Taubah: 18 bahwa Takmir harus memiliki syarat dasar pengelolaan masjid dengan akronim “NIKAHI SAZA HATI” kepanjangan dari “Niat Karena Allah, Mulai Iman Kepada Allah dan Hari Akhir, tegakan Shalat dan Zakat, Hanya Takut Pada Allah Ilahi Rabbi”.
- Niat karena Allah. Ini adalah fondasi untuk beramal dimana segala sesuatu dipastikan harus dimulai dari niat sebagai dimensi psikologis yang menjadi ruh dari semua amal perbuatan.
- Iman kepada Allah. Ini adalah dimensi perencanaan dan pengamalan secara spiritual paling utama dimana segala berkenaan dengan masjid harus diletakan dalam dimensi ilahiah bukan duniawiah. Bukan maksud iman yang biasa namun benar-benar menyerahkan diri kepada Allah atas segala hal dan mengimani “Allahu Akbar” bahwa peran dirinya adalah kecil sedangkan kekuasaan Allah adalah maha besar. Karena masjid adalah rumah Allah, maka dirinya berperan melayani Allah dan Allah-lah yang akan mengganti dan menyelesaikan seluruh kebutuhannya.
- Iman kepada Hari Akhir. Ini adalah dimensi pengawasan dan evaluasi di mana apapun yang dilakukan takmir memiliki dampak serius dan ditampakan di yaumul akhir. Kebaikan atas pelayanan di masjid akan menjadi kebahagiaan abadi di hari akhir sedangkan menghianati dan melalaikan tugas masjid adalah kerugiaan besar yang akan dibalas nanti di hari pembalasan. Maka, semakin beriman pada hari akhir, Takmir akan terus memotivasi orientasi tujuan akhir dari pengabdiannya di masjid. Semuanya akan dikontrol dan dievaluasi tanpa ada yang terlewat dengan catatan mikro komputer Jibril yang sangat detail.
- Menegakan Shalat. Ini adalah dimensi Teoretis dan Praktis Utama di mana seorang takmir harus memahami secara teoritis dan teknis tentang shalat dan turunannya. Menggunakan terminologi “Mendirikan” atau “Iqama” bukan kata “pa’ala” atau “amala” adalah tentang bagaimana shalat ini tidak berdiri sendiri dan tidak hanya berdampak individual saja namun tatacara pelaksanaannya membutuhkan otoritas keilmuan dan gerakan jemaah yang harus diorganisir secara profesional.
- Menunaikan Zakat. Ini adalah dimensi Ekonomi sebagai penyokong utama Shalat. Seorang takmir harus menguasai secara teoritits dan praktis tentang bagaimana filantropis Islam seperti Zakat, Infaq, Sedekah dan wakaf menjadi instrumen penting dalam menyokong shalat dan segala hal yang berkenaan dengan kemakmuran masjid di mana shalat ditegakan. Di sinilah pentingnya masjid menjadi lokasi pemberdayaan ekonomi agar mandiri dan menjadi pusat kegiatan ekonomi umat hingga menjadi pusat peradaban yang sistematis.
- Hanya Takut kepada Allah Ilahi Rabbi. Ini adalah dimensi Pengendalian. Takmir masjid harus memiliki rasa takut (taqwa) kepada Allah dalam melakukan kesalahan-kesalahan yang bisa merobohkan kepercayaan umat atas masjid. Sehingga, takmir akan berhati-hati dan waspada atas semua perencanaan dan pelaksanaan kegiatan kemasjidan karena Allah adalah pengawas dan pengendali utama. Kehati-hatian ini bukan berarti anti-inovasi, namun lebih kepada takmir yang bertanggung jawab serta mengukur semua kegiatannya melalui kemanfaatan dan kemadharatan melalui alat ukur ilahiah.
B. Syarat Takmir Masjid
Setelah Takmir terpenuhi prasyaratnya, maka lanjut pada syarat Takmir. Syarat ini lebih pada keilmuan takmir dari dimensi komunikasi dan inovasi tentang apa yang ingin dicapai saat takmir memimpin dan melayani masjid. Takmir harus dipastikan bukan “Penguasa” masjid tapi “pelayan” masjid. Artinya, takmir harus melayani jemaah bukan menguasai masjid. DKM harus diartikan sebagai Dewan Kemakmuran Masjid bukan “Dewan Keluarga Masjid” yang sering diplesetkan menjadi pengurus yang turun temurun dan anti mendapatkan kritik. Takmir yang memenuhi syarat dengan akronim “5 Si” diharapkan akan mampu membawa masjid ke arah yang lebih maju.
Gambar 2.2
Syarat Takmir Masjid 5 Si
Untuk Menjadi Takmir yang unggul, maka syarat Takmir harus memenuhi “5 Si”. Yaitu:
- Si yang pertama adalah Takmir yang memiliki “Visi”. Visi artinya melihat ke depan. Tentu saja visi ini adalah cara pandang yang terukur karena mata memandang pun terbatas pada ruang dan waktu, sehingga visi ini memiliki keterbatasan atau batasan ruang dan waktunya. Takmir harus memiliki visi yang sama di mana mengembangkan masjid pemberdayaan umat adalah kewajiban bersama.
- Si kedua adalah takmir yang memiliki “misi”. Misi adalah turunan teknis visi di mana setiap pandangan harus dicapai melalui tahapan-tahapan teknis yang terukur dan realistis untuk dicapai. Takmir harus mampu menerjemahkan visi bersama secara teknis dan terukur. Program jangan “dug ces”. Setelah dibuat dibiarkan hingga tak bisa dilaksanakan.
- Maksud narasi adalah takmir harus mampu menarasikan atau menerjemahkan dalam bentuk tulisan dan lisan segala petunjuk nash dalam Al-Qur’an dan hadits serta tradisi para ulama tentang masjid. Narasi ini adalah kata lain dari otoritas takmir terhadap keilmuan masjid. Banyak ilmu kemasjidan yang belum dipahami oleh umat sehingga masjid dikesankan hanya sebagai tempat shalat (mushala) saja bukan tempat pusat peradaban umat Islam. Dengan kemampuan narasi takmir maka masjid akan cepat dikembalikan sebagaimana Rasulullah menjadi masjid sebagai titik tumpu perjuangan Islam sebagai sebuah peradaban.
- Takmir tidak hanya bekerja dalam kondisi normal-normal saja terutama hanya menyelenggarakan shalat saja. Butuh inovasi yang mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas jemaah di masjid. Inovasi ini dibutuhkan dalam konteks pengembangan masjid pemberdayaan agar makmur. Pikiran-pikiran takmir harus dirumuskan dalam berbagai konsep secara teoritis dan teknis agar bisa dilaksanakan. Sehingga inovasi ini memiliki karakter SMART, yaitu:
- Yaitu sangat khas dan fokus pada satu bidang yang bisa meningkatkan kapabilitas masjid sebagai pemberdayaan umat. Kegiatan pun harus dikelola oleh tim khusus agar bisa direalisasikan secara efektif dan efisien.
- Yaitu bisa dikelola dengan baik oleh sumber daya yang ada dimasjid baik dilihat dari keaberadaan manusia maupun sumber daya lain yang mendukungnya. Hindari inovasi yang sulit dikelola karena belum tersedia sumber dayanya. Namun ini bukan berarti inovasi kalah oleh keadaan, butuh upaya besar untuk meraih cita-cita masjid.
- Kegiatan masjid harus aktual atau sesuai dengan konteks kebutuhan masyarakat. Jika segala kebutuhan umaat hadir di masjid maka masjid akan jadi tujuan utama masyarakat. Upayakan inovasi yang dilakukan adalah mengarus utamakan masjid sebagai situs solutif bukan justru menghadirkan masalah sehingga masyarakat harus menanggung akibatnya.
- Inovasi pun harus realistis. Apakah masjid bisa melakukan atau tidak, apakah dananya cukup atau tidak dan apakah umat bisa diajak untuk menyelenggarakan itu atau tidak? Semua harus dilakukan berdasarkan kemampuan yang ada di masjid dan sekali lagi takmir harus berjuang keras guna menggapai cita-cita mulia dan tidak menyerah sebelum mencoba.
- Time Bound. Inovasi harus bisa dibatasi waktu atau bisa dievaluasi berjangka di mana program itu harus memenuhi prinsip manajeman. Perencanaan dan pelaksanaan yang telah dilaksanakan harus bisa diawasi dan dievaluasi untuk memenuhi prinsip kaizen yaitu prinsip terus meningkat ke program-program yang lebih baik lagi. Never ending development.
- Organisasi. Takmir harus mempu berorganisasi dan memegang teguh “kebenaran yang tak terorganisir akan kalah oleh kebatilan yang terorganisir”. Masjid harus diilustrasikan sebagai kapal yang akan mengarungi bahtera dan harus patuh terhadap tata kelola organisasi untuk jalan bersama. Takmir adalah komando masjid yang terdiri dari bagian-bagian yang harus bekerja sesuai dengan tupoksi yang disepakati. Divisi, bagian atau biro dalam organisasi adalah tangan-kaki yang harus berjalan dan jangan sampai pincang, yang satu jalan yang lainnya lumpuh.
C. Kompetensi Takmir Masjid
Takmir yang telah memenuhi prasyarat dan syarat maka selanjutnya harus diuji kompetensinya. Kompetensi paling standar adalah memahami ilmu komunikasi dalam organisasi dan memahami tugas pokok dalam mengelola masjid. Namun kompetensi yang lengkap diberikan secara akronim dalam konsep “4 Tas”
Gambar 2.3
Kompetensi Takmir Masjid 4 Tas
Organisasi ini dibangun berdasarkan kemampuan takmir dalam 4 Tas:
- Otoritas keilmuan. Takmir harus memiliki keilmuan yang lengkap dengan cara mengkaji secara detil semua program yang akan dilakukan di masjid agar kegiatan itu memiliki dasar hukum jelas sehingga tidak debatable ketika diimplementasikan.
- Takmir harus benar-benar berintegritas dalam mengelola masjid terutama dalam menggunakan fasilitas masjid. Sebisa mungkin takmir tidak masuk pada program yang dibuat oleh masjid sehingga umat tidak melihat takmir memanfaatkan program yang dibuatnya sendiri. Apalagi dalam penggunaan fasilitas dimana takmir sebisa mungkin menghindari fasilitas masjid sehingga umat tidak melihat takmir memanfaatkan posisinya hanya untuk fasilitas dirinya.
- Takmir harus memiliki loyalitas atau kesetiaan terhadap masjid dan programnya. Apapun harus dilakukan dengan sepenuh hati. Ketulusan dan keikhlasan dalam bekerja dalam memajukan masjid adalah bagian penting dalam orientasi mengabdi di masjid tanpa diembel-embeli ingin popularitas, materi atau tujuan non-ilahiah yang akan merusak tatanan niat yang sudah ditanamkan sebelum masuk organisasi masjid.
- Ini adalah akhir dari kinerja takmir untuk umat yaitu trust atau Kepercayaan. Setelah kepercayaan umat lahir maka apapun yang dilakukan oleh takmir akan dipercaya sebagai upaya untuk memajukan masjid dan umat sehingga pendanaan dan segala sumber daya yang ada di masyarakat bisa diberdayakan untuk kepentingan pengembangan masjid.
D. Teknik Memulai Memakmurkan Masjid
Setelah Takmir memenuhi standar sumber daya masjid baik dari prasyarat, syarat dan kompetensi ideal maka selanjutnya takmir harus memahami langkah dan jalan memulai memakmurkan masjid. Dalam Konsep memakmurkan masjid maka Konsep “Ke Masjid Sembah Allah” menjadi panduan untuk segera memakmurkan masjid.
Gambar 2.4
Konsep Teknik Memulai Memakmurkan Masjid
Ada tiga teknik utama dalam memulai memakmurkan masjid. Yaitu: Kepemimpinan Masjid, Sensus dan Manajemen Bakti Jemaah dan Analisis Kelayakan SWOT yang selanjutnya diakronimkan dengan kalimat: “Ke Masjid Sembah Allah SWT”. Untuk Akronim Allah SWT sejatinya ini kurang baik karena menggunakan Kata yang Suci. Namun karena kalimat akronimnya berhubungan dengan sembah, maka menggunakan Allah tidaklah menjadi masalah. Utamanya, pembaca akan mudah mengingat.
Untuk memulai memakmurkan masjid, ilustrasi di bawah bisa dibaca agar bisa lebih memahami secara faktual masalah-masalah di masjid.
- Sekelumit Kisah Klasik Pemilihan Ketua DKM
Kita berimajinasi melalui sebuah kisah yang sering kita temui. Kisah ini berawal dari seorang anak muda yang ingin memakmurkan masjid. Sebut saja namanya “Ahmad”. Ahmad muda ini selalu galau melihat masjid di wilayah di mana ia dilahirkan tidak seperti masjid yang ada ia dambakan. Maklum selama ini, dia mendapatkan banyak input pengetahuan tentang kemasjidan selama dia berkuliah di Jogjakarta.
Masjid yang ia impikan adalah masjid sebagai “center of activities” . Dia selalu ingat bahwa saat Nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah, yang beliau dirikan adalah Masjid dan Pasar. Keduanya terpadu dan saling melayani. Di sana ada masjid sebagai tempat ibadah dan pasar sebagai tempat muamalah. Keduanya juga saling melengkapi dan masjid menjadi tempat sentrum yang paling utama. Di sana didiskusikan banyak hal dari mulai pendidikan, sosial, politik dan lainnya.
Oleh karena itu, Ahmad sering gelisah karena melihat masjid tempat shalat ia dirikan masih hanya menjadi mushola (tempat shalat) saja. Mushola dan masjid memang berbeda dalam fungsi dan tujuan. Mushola leboih kepada tempat sholat bukan tempat yang memiliki fungsi lebih seperti pemberdayaan umat, pendidikan dan lainnya.
Memang di masjid Ahmad ada tempat mendidik anak berupa TPQ. Namun, pengelolaannya sangat tradisional dan tidak dikelola secara profesional. Beberapa indikator tradisional adalah karena sering guru TPQ itu mengeluh karena ketiadaan fasilitas apalagi gaji guru. Bahkan, jika anak-anak tidak memiliki Quran sebagai bahan ajar mereka membelikan untuk mereka. Indikator lainnya adalah fasilitas masjid yang tak pernah meningkat dan juga gitu-gitu juga. Misalnya karpet yang digunakan sudah mulai kasar dan speaker yang digunakan tidak sesuai akustik masjid yang layak. Pokoknya banyak sekali hal yang harus diperbaiki.
Tentu Ahmad muda ini memiliki sejumlah pemikiran agar masjid di tempatnya tinggal menjadi lebih modern dan maju. Namun tentu tidak mudah untuk memulai perombakan. Ada semacam “struktur feodal” atau semacam kerajaan di masjid walaupun masjid yang menjadi targetnya adalah masjid wakaf dan juga dimiliki oleh semua warga. Sulit sekali untuk merombak karena terhalang oleh senioritas di mana pikiran-pikiran kolot tentang masjid masih membelenggu.
Namun Ahmad adalah pejuang. Beliau mencoba sedikit demi sedikit mengutarakan kegelisahan atas masjid tempat beliau shalat. Gagasan progresif ia utarakan kepada ketua DKM yang merupakan uwaknya sendiri. Untungnya, Ahmad adalah termasuk anak tokoh yang bapaknya adalah seorang kepala desa. Uwaknya sendiri adalah ustad yang sejak muda menjadi ketua DKM dan tak pernah berhenti. Ada semacam adagium bahwa “Akhir Ketua DKM adalah sampai Ajal tiba”. Artinya ini menjadi tantangan tersendiri bagi masjid karena perubahan-perubahan yang signifikan akan tidak terjadi karena mindset pengurusnya yang tidak ingin berubah.
Apalagi mindset masjid yang dianggap hanya tempat shalat saja sehingga di masjid dilarang anak bermain. Tak ada perkenan “Masjid Ramah Anak”, tak ada pula masjid sebagai tempat untuk kembali dan perlindungan bagi ibnusabil di mana di masjid sudah dituliskan “Tidak boleh Tidur di Masjid”.
Alhamdulillah Uwaknya Ahmad tidaklah begitu. Walau beliau sudah sangat lama menjadi ketua DKM, beliau sangat terbuka dan bahkan sering mengajak Ahmad diskusi untuk memajukan masjid. Ada di banyak masjid yang menganggap masjid itu adalah tempat yang harus steril sehingga melarang anak untuk main di masjid bahkan dibuka tutup hanya untuk waktu shalat saja. Di luar waktu itu masjid dikunci dan orang tidak bisa masuk ke masjid. Bahkan di pelatarannya saja tidak diizinkan.
Ini menjadi keuntungan tersendiri bagi Ahmad. Ada banyak masjid yang belum bisa membuka diri untuk mengembalikan masjid sebagai pusat kegiatan umat. Bagi Ahmad ini adalah sebuah kesempatan yang baik guna membangun umat dimulai di masjid. Akhirnya, Ahmad pun ditawari untuk mengganti uwaknya menjadi ketua DKM. Mungkin uwaknya melihat potensi Ahmad yang sangat penting bagi kemajuan masyarakatnya.
Sebetulnya Ahmad kurang nyaman karena menjadi ketua DKM seolah menjadi sesepuh. Namanya juga “sesepuh” ya harus sepuh (tua). Artinya di dalam struktur masyarat Indonesia, sering ketua DKM sekaligus menjadi tokoh masyarakat yang sangat penting. Karena dirinya masih muda, maka beliau membutuhkan legitimisi masyarakat agar kepemimpinan DKMnya valid dan shahih bagi masyarakatnya. Dengan seizin uwaknya yang sangat mempercayauinya, Ahmad memohon sebuah permulaan untuk membangun masjid.
Permintaannya adalah: “Mengadakan pemilihan ketua DKM”. Sesuatu yang sangat jarang dilakukan di dalam masyarakat pedesaan tapi sudah biasa di masyarakat perkotaan apalagi di perumahan yang struktur masyarakat kawasannya adalah warga baru. Pemilihan ketua DKM yang masjidnya baru dan warganya baru tentu berbeda dengan masyarakat yang telah menetap lama dan memiliki struktur sosial yang sudah terbangun sehingga menjadi pola pikir baku.
Sejatinya, pemilihan Ketua DKM yang akan menjadi starting point (titik landas) ini bukanlah hanya untuk mencari validitas dari masyarakat, namun lebih dari itu. Ahmad melihat bahwa masjid yang akan dipimpinnya itu belum memiliki data jamaah. Pekerjaan yang akan dilakukannya belum memiliki data sehingga apa yang akan dikerjakan belumlah berbasis data. Oleh karena itu Ahmad menggunakan pemilihan Ketua DKM ini sebagai sebuah “Sensus Jama’ah”.
- Membangun Superteam bukan Superman
Jika telah selesai tentang kepemimpinan DKM maka perlu dirumuskan struktur organisasi Masjid. Maka perlu membangun super team bukan superman. Artinya timnya harus solid dan bisa membawa perubahan pada masjid. Struktur yang bisa digunakan adalah sebagai berikut:
Struktur Pengurus DKM ……………….
Pembina :
Mustasyar :
Ketua :
Wakil Ketua :
Sekretris :
Wakil Sekretaris :
Bendahara :
Wakil endahara :
Bidang-bidang :
Bidang Pendidikan dan Dakwah
Bidang Pemberdayaan Ekonomi Jamah Masjid
Bidang Pemuda dan Remaja Masjid
Bidang Pengembangan Potensi Muslimah
Bidang Perpustakaan Masjid
Bidang Penerangan dan Wakaf
Bidang Kesehatan dan Lingkungsn Masjid
Untuk membangun super team, maka dibuatlah Visi Misi Masjid seperti contoh berikut:
- Visi DKM: “Mewujudkan fungsi masjid dalam memberdayakan/memakmurkan masjid guna meningkatkan kesejahteraan jamaah dan masyarakat di lingkungan masjid”
- Misi DKM:
- Mengelola organisasi dan administrasi masjid (Idharah)
- Mengelola Program kemakmuran masjid (Imarah)
- Mengelola pemeliharaan bangunan fisik masjid (Ri’ayah)
- Program Kerja DKM:
- Berkoordinasi dengan DMI untuk menyelenggarakan pelatihan pengurus masjid agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mewujudka masjid pemberadayaan umat dan bangsa.
- Mengusahakan/mengelola sumber dana dan sarana untuk kegiatan pengelolaan masjid.
- Memberdayakan ekonomi jamaah
- Memberdayakan pendidikan jamaah
- Meningkatkan peran serta jamaah/masyarakat dalam upayameningkatkan kesehatan jamaah dan masyarakat lingkungan masjid.
Masjid yang baik adalah masjid yang memiliki data base. Program masjid yang tepat adalah program yang kena sasaran sesuai dengan kebutuhan. Tentu data base ini tidak akan sama dengan data base yang ada di kelurahan karena point-point nya beda.
Poin yang penting dan harus dicari itu adalah:
- Luas wilayah atau wilayah kerja masjid. Semangat membangun masjid bagi kaum muslimin karena nash “Siapa yang membangun masjid di dunia maka akan dibangunkan rumah di surga” maka hampir setiap daerah didirikan masjid. Di Indonesia ada lebih dari 980.000 masjid. Namun karena semangat membangunnya adalah fisiknya saja maka untuk memakmurkannya tidak terlaksana. Dahulu, nama masjid itu tidak menggunakan istilah Arab dan menyesuaikan pada daerah kerjanya sehingga nama masjid sama dengan nama daerahnya. Misalanya Rasulullah membuat masjid Cuba, pun DKM masjid besar kecamatan sering langsung dengan nama kecamatan.
- Jumlah jama’ah masjid. Setiap wilayah memiliki masjid tapi kadang tidak memiliki jumlah kuantitatif yang pasti. Apalagi jumlah ini harus dilengkapi oleh berbagai data yang menjadi landasan program seperti:
- Jenis kelamin, perlakukan laki-laki dan perempuan adalah berbeda.
- Usia Keluarga. Berapa jumlah orang dewasa dan anak-anak. Apakah ada orang tua yang sangat sepuh atau tidak.
- Ekonomi keluarga. Apakah rumahnya milik sendiri atau mengontrak, apa pekerjaannya, berapa penghasilannya, berapa hartanya, dan seterusnya.
- Status sosial. Apakah jama’ah itu sudah ke haji, bagaimana menunaikan zakatnya, bagaimana kedermawanannya, apakah memiliki jabatan di pekerjaannya dan seterusnya.
- Kondisi ibadahnya. Apakah sudah, belum atau tidak shalat.
- Ilmu agama Islam. Apakah buta hurup Al Qur’an, Apa kebutuhan agamanya, Apakah memiliki Ilmu agama yang cukup, kurang atau baik.
Untuk melaksanakan sensus jama’ah ini, Ahmad tentu tidak bisa bekerja sendiri. Maka ia memulai mengumpulkan anak-anak muda yang sering ditemuinya di masjid. Anak-anak remaja dan pemuda itu diajak ngobrol untuk memajukan masjid melalui sensus jamaahnya. Mereka pun dengan senang hati karena program-program masjid yang akan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan jama’ah.
Namun demikian, Ahmad memberikan teknik untuk sensus agar mudah, efektif dan efisien. Beberapa teknis itu disampaikan kepada anak-anak muda yakni:
- Buatkan instrumen yang dibutuhkan dalam bentuk manual (kertas) dan digital dalam bentuk google form. Maksudnya bagi keluarga yang sudah melek internet maka dibuatkan link serta dikirimkan via WA messages. Mereka tinggal mengisi sesuai dengan item-item yang tersedia dan dikirim langsung kepada pengurus DKM secara online. Bagi keluarga yang belum melek maka tinggal dikunjungi oleh anak-anak muda dengan beberapa instrumen saja yang ditanyakan.
- Beberapa pertanyaan yang bertendensi menyinggung perasaan seperti sudah shalat apa belum, bisa sholat apa tidak, apakah mampu membaca Qur’an atau belum, atau sudah zakat apa belum, tentu tidak harus ditanyakan langsung karena berpotensi menyinggung. Maka bisa ditanyakan pada tetangga sebelahnya walaupun perlu strategi khusus. Perlu ada penekanan mana saja keluarga atau anggota keluarga yang bisa secara vulgar mana yang tidak bisa.
- Bekerja sama dengan RT/RW agar bisa mendiskusikan data dan data itu harus tertulis dan bisa memetakan umat sehingga akan mampu mendeskripsikan jama’ah secara komprehensif.
- Analisis SWOT
Ahmad telah dipilih menjadi Ketua DKM baru sekaligus memiliki data hasil sensus jama’ah. Jadi dalam satu kali langkah, Ahmad memiliki dua hasil yaitu memiliki data base sebagai landasan program dan juga Ahmad bisa langsung melakukan pemilihan ketua DKM dengan melibatkan masyarakat. Keuntungan yang didapatkan dalam “Pemilu” DKM ini adalah bagaimana masyarakat dilibatkan dan dikenalkan program-program masjid yang akan dilakukan.
Data yang dikumpulkan harus dianalisa dengan menggunakan SWOT. Ada empat komponen SWOT yaitu strenght (kekuatan), weakness (kelemahan), opportunity (kesempatan) dan threat (ancaman). Empat komponen ini dibagi menjadi dua objek analisis yakni analisi untuk internal yaitu kekuatan dan kelemahan dan eksternal yaitu peluang/kesempatan dan tantangan.
Ahmad memasukan data itu dalam tabulasi SWOT dengan gambar seperti ini:
Tabel 1.1
Contoh Untuk Melakukan Analisis SWOT
Kekuatan Internal:
1. 2. 3. 4. 5. dst
|
Kelemahan Internal:
1. 2. 3. 4. 5. dst Solusi: 1. 2. 3 |
Program untuk Internal:
1. 2. |
|
Peluang dari Eksternal:
1. 2. 3. 4. 5. dst
|
Ancaman dari Eksternal:
1. 2. 3. 4. 5. dst Solusi: 1. 2. 3. |
Program untuk Eksternal:
1. 2.
|
Instrumen analisis SWOT ini bisa menggunakan model beragam dan yang paling penting dapat mudah dipahami sebagai alat mengenal diri dan lingkungan yang akan dikembangkan.