Ri’ayah
LANGKAH TAKTIS DALAM TATA KELOLA RI’AYAH MASJID
Dr. H. Ahmad Zaki Mubarak
Ri’ayah adalah fasilitas masjid. Takmir masjid harus mengadakan, merawat, memperbaiki dan memastikan fasilitas masjid dengan baik dan benar. Ada empat SOP Ri’ayah yang harus dilakukan oleh takmir masjid, yaitu:
- Penataan ruang masjid
- Pengadaan fasilitas utama masjid
- Pengadaan fasilitas pendukung masjid
- Pengadaan dan penempatan speaker masjid
Sebelum masuk pada pembahasan utama, mari kita memahami terlebih dahulu tentang seluk beluk arsitekrut masjid dan sejarahnya. Masjid di masa Rasulullah saw disandingkan dengan dua situs lainnya yaitu rumah pimpinan dan pasar. Di Indonesia, tiga situs ini ditambah menjadi empat sehingga disebut “Catur Gatra”. Keempat itu adalah masjid, gedung pemimpin, pasar dan lapangaan atau biasa disebut alun-alun.
Rumah pemimpin bisa disesuaikan dengan tingkat pemerintahan, misal gubernur untuk DKM Masjid Raya, Bupati untuk DKM Masjid Agung, kantor kecamatan untuk DKM Masjid Besar dan Kantor desa untuk DKM Masjid Jami’. Ada pun untuk DKM masjid Jami atau lainnya tidak semestinya ditempatkan di dekat kantor pemerintahan.
Adapun untuk menempatkan pasar di dekat masjid karena masjid masa Rasulullah adalah tempat berkumpulmnya jemaah dan memiliki potensi ekonomi yang besar. Isitlahnya T is T atau Traffic is Transaction, di mana ada trafik di situ pula harusnya ada transaksi. Untuk pendalaman tentang ini maka bisa dilihat di bab tentang Iqtishadiyah di Bab V.
A. Nama Masjid
Nama masjid memang disunnahkan sesuai dengan apa yang Rasulullah lakukan. Pertama kali Rasulullah membuat masjid dinamainya “Kuba” sesuai dengan nama kampungnya. Begitupun masjid lain seperti masjid Bani Salamah dan Masjid Nabawi. Hal ini pun sesuai dengan tradisi lama bangsa Nusantara menamakan masjid sesuai dengan daerahnya. Misal nama Masjid Agung Tasikmalaya. Masjid besar Kecamatan Karangnunggal atau Masjid Desa Cikunir. Nama daerah bisa menjadi simbol dan wilayah kerja masjid secara langsung.
Namun pada masa Orde Baru ada instruksi untuk mengubah nama pesantren dan masjid agar secara identitas berbau Arab. Banyak pesantren yang mengubah namanya dengan bergenre Arab termasuk masjid. Namun banyak pula yang tidak merubah karena sudah melekat dan sulit diubah. Namun karena setiap daerah banyak didirikan masjid, di sana pula banyak bernama dengan menggunakan genre Bahasa Arab seperti Al Istiqomah. Ada pula nama masjid sesuai nama pendirinya misal As Syafi’iah karena yang mendirikan namanya bapak Syafi’i. Ada pula yang menggunakan Bani karena yang mendirikan atau yang mewakafkan dari keluarga Bani tertentu. Ada pula yang lebih nyeleneh dan dipas-paskan seperti nama Gandara menjadi Masjid Al Gandara. Secara hukum tidak masalah walaupun tidak direkomendasikan.
B. Desain Masjid
Untuk membangun masjid, maka dibutuhkan desain awal pembangunan. Paling tidak ada tiga model umum yang bisa dipilih. Ketiga ini adalah model Limasan yang menjadi ciri khas masjid di Nusantara, Kedua model kubah di mana sangat dipengaruhi oleh dunia timur tengah terutama Persia. Ketiga adalah model Urban atau masjid model masa kini yang didesain oleh mereka penganut aliran bangunan urban yang unik dan sangat berbeda dengan sebelumnya.
Pertama adalah Model Lokal Nusantara. Nusantara sejak berkembang Islam di jaman Demak maka bentuk masjid adalah menggunakan kayu dengan model kubah bertingkat tiga. Tiga dimaknai dengan Iman, Islam dan Ihsan. Contoh:
Gambar 4.1
Masjid Demak Berumpak Tiga dengan bentuk Limas
Desain dalam model ini beragam dengan menyesuaikan dengan tempat atau ruang kebutuhan masjid. Sketsa yang bisa diambil dari beberapa masjid di Nusantara adalah sebagai berikut:
Gambar 4.2
Desain Ruang Masjid Khas Nusantara
Sebagai pembanding, ada pula tata ruang masjid Khas Nusantara yang memiliki perbedaan yang tidak signifikan tetapi mengandung kekhasan nusantara yaitu kubahnya berupa limasan yang memiliki nilai filosofis tinggi dan terutama dibuat dari kayu di mana bahan ini sangat banyak tumbuh di Nusantara. Dahulu tidak menggunakan semen dan cor karena memang di Nusantara banyak tumbuh kayu terutama kayu yang bisa bertahan kuat sampai ratusan tahun.
Gambar 4.3
Desain Lain Masjid Khas Nusantara
Ada pula masjid yang telah menggabungkan limasan ala Nusantara dengan Limasan yang ditambah dengan kubah dan bahkan ditambah dengan menara khas seperti gambar di bawah ini. Masjid ini merupakan masjid yang menunjukan betapa perkembangan arsitektur masjid begitu dinamis terutama saat persentuhan sosial politik Nusantara dengan bangsa Arab dan juga berkembangnya teknologi semen di mana cara membangun masjid tidak tergantung hanya pada kayu seperti pembangunan masjid limasan masa lalu.
Gambar 4.4
Desain Lain dari Masjid Khas Nusantara dengan Kubah
Gambar 4.5
Desain Lain dari Masjid Khas Nusantara dengan Gerbang Khas
Gambar 4.6
Hiasan Gerbang Masjid Khas Nusantara (Jawa)
Kedua Model Internasional. Model umum masjid adalah memiliki kubah berbentuk bulat. Model ini diadopsi dari arsitektur Persia di mana kubah (dome) menjadi kesepakatan umum kaum muslimin untuk menjadi identitas masjid.
Gambar 4.7
Masjid Istiqlal dengan Kubah ala Persia
Model ini dianggap model yang paling umum di masjid belahan dunia. Kubah yang diinspirasi oleh kebudayaan Persia telah menjadi brand masjid di seluruh dunia sehingga di Nusantara pun mengikutinya. Jika model Limasan masih terawat hingga kini terutama masjid Pancasila yang didirikan oleh Yayasan Supersemar masa Orde Baru, maka hari ini kebanyakan masjid menggunakan model yang internasional. Bentuk ini sangat universal dan dianggap memiliki ciri khas umum dan dibangun dengan harga yang standar. Hal ini berbeda dengan masjid dengan model urban yang desain dan fitur di dalamnya sangat mahal.
Gambar 4.8
Sketsa Majid dengan Kubah
Ketiga Model Urban. Kini, setelah ilmu arsitektur berkembang, maka desain masjid tidak statis dan kaku. Banyak ragam desain masjid dengan menggunakan model urban yang tidak kaku dan relatif unik. Contohnya:
Gambar 4.9
Masjid Al Jabbar dengan Desain Urban
Gambar 4.10
bagian Dalam Masjid Al Jabbar Desain Urban
Desain Urban memanglah belum banyak dibangun di Indonesia. Namun, sepertinya desain masjid ini memiliki kekhasan modern ditinjau dari desain yang tidak sama dengan limasan atau kubah. Desainnya tidak mengikuti fatsun atau model standar. Faktor desainer lebih dominan daripada konsensus masjid pada umumnya sehingga mesjid model ini menjadi peradaban baru bagi arsitektur masjid abad milenial.
C. Rukun Fisik Masjid
Elemen-elemen utama atau pokok dari ruang dalam bangunan masjid, menurut Sumalyo (2000) adalah tempat sholat, mihrab (tanda arah kiblat), mimbar (tempat duduk memberikan ceramah), serambi dan tempat wudhu. Minaret (menara) dan dikka adalah elemen pendukung atau pelengkap yang tidak selalu ada di setiap masjid.
1. Mihrab
Mihrab merupakan tanda arah kiblat yang digunakan sebagai tempat imam untuk memimpin sholat, terletak di sisi barat laut masjid. Menurut Pijper (1947), salah satu karakter umum masjid jawa kuno adalah berdenah bujur sangkar dan memiliki ruang tambahan pada sebelah barat atau barat laut untuk mighrab.
Mihrab yang terdapat pada masjid pada umumnya memiliki bentuk yang sama. Mihrab ini terletak di tengah pada dinding barat masjid, bentuk mihrab menjorok keluar dan denahnya segi empat. Jarak imam dengan dinding mihrab di depannya mencapai 1 sampai 2 meter, mihrab dibangun tidak lagi berbentuk ceruk pada dinding, sebagai penanda kiblat, melainkan telah menjadi bentuk ruang. Ambang mihrab berbentuk lengkung, bentuk lengkung pada ambang mihrab berfungsi sebagai hiasan dan bentuk langit-langit ruangan pada mihrab berbentuk lengkung.
Mihrab Masjid Nabawi | Mihrab Masjid dari Kayu
|
Mihrab dari bahan Kuningan | Mihrab masjid tanpa ruang |
Mihrab pada masjid-masjid tersebut memiliki ornamen yang berbeda-beda dan memiliki keunikannya masing-masing, dari kelima masjid tersebut rata-rata mihrab menggunakan material dari keramik sebagai ornamennya. Berbeda dengan mihrab yang terdapat pada masjid Baitul Aziz yang berbentuk seperti gapura padureksan yang kanan kirinya terbuat dari bata merah penuh dengan ragam hias motifnya. Ornamentasi yang unik terlihat pada mihrab masjid Al-Makmur, di atas mihrab terdapat ornamen dengan motif matahari, bunga lotus emas dan piringan keramik yang berasal dari cina, sedangkan ornamen yang terdapat pada mihrab masjid Al-Aqsa memiliki bentuk bunga yang sedang mekar dan pada bagian kiri dan kanan atas mihrab terdapat hiasan berbentuk jantung hati.
2. Mimbar
Mimbar merupakan tempat yang digunakan untuk berkhotbah atau memberi ceramah untuk menyampaikan suatu berita (pengumuman) pada jamaah sholat. Kebanyakan desain mihrab adalah ada dua buah yaitu terletak mengapit diantara mihrab yaitu di bagian kanan dan kiri mihrab. Ambang mimbar berbentuk lengkung, bentuk lengkung pada ambang mimbar berfungsi sebagai hiasan yang berbahan dari keramik. Bentuk langit- langit ruangan pada mimbar berbentuk lengkung dan memiliki 3 susunan anak tangga. Dalam beberapa kasus mimbar pada masjid lainnya menggunakan hiasan kayu berwarna coklat atau menggunakan hiasan dari lapisan kuningan.
Mimbar dari Kayu | Mimbar dari Plat
|
Mimbar lebih tinggi | Mimbar Biasa |
3. Ruang Shalat
Ruang sholat pada umumnya memiliki karakteristik struktur ruang yang sama. Terdiri atas dua ruangan yaitu ruang sholat utama (ruang sholat pria) dan ruang sholat untuk wanita (pawastren). Ruang sholat wanita terletak di sisi kanan ruang sholat pria atau ada di belakang. Kedua ruangan tersebut berbentuk persegi yang dibatasi dinding pada setiap sisinya dengan penonjolan pada bagian mihrab. Di beberapa masjid, terdapat ruang sholat tambahan (selain ruang sholat utama dan pawastren) dan sering digunakan untuk tempat berkumpul atau majelis taklim. Ruangan ini pun sebagai ruang untuk pertemuan masyarakat desa di sisi kiri ruang sholat utama, sedangkan pada masjid lainnya sholat tambahan ini terdapat pada lantai dua masjid atau ruang luar dari masjid.
Ruang shalat Utama | Pembatas ruang shalat
|
Sekat menggunakan kain | Ruang shalat tanpa sekat |
Contoh Desain Ruang Shalat dan ruang-ruang lainnya yang dibutuhkan di masjid sebagai berikut:
Gambar 4.11
Contoh 1 Desain Ruang Shalat
Gambar 4.12
Contoh 2 Ruang Shalat Masjid
4. Serambi
Serambi/ruhbah masjid adalah bangunan atau pelataran yang merupakan bagian integral dari masjid atau melekat tetapi di luar masjid. Menurut pendapat lain, ruhbah adalah bangunan yang dibangun mengelilingi dan melekat pada masjid, yang menjadi satu kesatuan dengan masjid.
Serambi merupakan ruangan terbuka atau ruangan di luar bangunan inti masjid. Lantai pada serambi biasanya lebih rendah dari lanatai masjidnya, hal ini dikarenakan ruanagan ini mempunyai nilai yang lebih rendah dibanding dengan ruangan masjidnya disebabkan ruangan ini dianggap semi sakral dan ruangan masjidnya bersifat sakral.
Contoh 1 Serambi | Contoh 2 Serambi
|
Contoh 3 Serambi | Contoh 4 Serambi |
Contoh desain Serambi sebagai berikut:
Gambar 4.13
Contoh 1 Desain Serambi
Gambar 4.14
Contoh 2 Desain Serambi
5. Tempat Wudhu
Tempat wudhu adalah tempat di mana terdapat banyak air mengalir untuk menunaikan kesucian shalat berupa wudlu. Tempat ini merupakan bagian yang krusial atau kritis pada sebuah masjid/ mushalla. Masjid Jabal Arafah misalnya memiliki tempat wudhu, yang dirancang sedemikian rupa; baik jumlah, fungsi, maupun pilihan material terbaik. Penataan dengan mempertimbangkan jumlah pengguna serta arus pergerakan jamaah. Sehingga semuanya dapat berfungsi dengan nyaman, meskipun digunakan secara penuh, -misalnya menjelang shalat Jumat. Demikian juga air bersih yang mengalir, cukup memadai karena dukungan tangki penyimpanan yang ada. Aspek penerangan ruang wudhu dan toilet senantiasa terjaga fungsinya. Selain dengan sirkulasi dan ventilasi yang besar, apabila ada lampu yang putus, maka petugas segera mengganti dari sediaan yang ada.
Contoh desain Tempat Wudlu dan Kamar Mandi (KM) adalah sebagai berikut:
Gambar 4.15
Desain Lokasi Tempat Wudhu
Tempat wudhu di sebagian besar masjid biasanya juga dilengkapi dengan kamar mandi atau toilet. Jika tidak ada pemisahan tempat wudhu laki-laki dan perempuan, kamar mandi kemudian bisa digunakan sebagai tempat wudhu untuk perempuan. Yang kurang diperhatikan dalam posisi kamar mandi atau toilet di dekat tempat wudhu adalah adanya kemungkinan air dari kamar mandi atau toilet yang masih terkena najis terpercik ke tempat wudhu. Kemungkinan ini dapat diminimalisir dengan menggunakan pintu sebagai penghalang terperciknya air yang mengandung najis dari kamar mandi atau toilet.
Dari aspek tata ruang, posisi kamar mandi seharusnya tidak berada di antara tempat wudhu dan tempat shalat. Sehingga pengguna atau orang yang berwudhu tidak melewati kamar mandi dalam perjalanan dari tempat wudhu ke tempat shalat dan dengan demikian meminimalisir kemungkinan terkena percikan air najis dari kamar mandi.
Gambar 4.16
Contoh Denah Tempat Wudhu
Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan tipologi tempat wudhu berfungsi untuk mengetahui tingkat kenyamanan pengguna yang ditinjau dari aspek ergonomi. Pengumpulan data dari segi tipologi tempat wudhu meliputi tinggi kran, jarak antar kran, merk kran, penampang kran, tinggi tangki, dan sumber air wudhu. Gambar di bawah merupakan kondisi pembangunan tempat wudhu di mushola dan masjid yang ada di Indonesia.
Gambar 4.17
Contoh Tempat Wudhu
Definisi tinggi kran pada kajian ini adalah tinggi kran yangberada di tempat wudhu diukur dari permukaan lantai tempat jatuhnya air kran, bukan dari lantai tempat berpijak. Tinggi kran akan berpengaruh pada ergonomi tempat wudhu. Pada model tempat wudhu dengan posisi berdiri, tinggi kran akan mempengaruhi seberapa dalam seseorang akan membungkuk. Semakin rendah kran, maka posisi pengguna akan semakin bungkuk ke dalam.
Pada sebuah masjid bisa terdapat kran dengan ketinggian yang berbeda-beda. Tinggi kran pada tempat wudhu perempuan biasanya berbeda dengan tempat wudhu laki-laki. Ketinggian kran memiliki pengaruh dalam menciptakan kenyamanan berwudhu. Posisi kran yang terlalu tinggi akan menimbulkan lebih banyak cipratan air sehingga berpotensi mengotori pakaian pengguna tempat wudhu. Sementara posisi kran yang terlalu rendah akan mengharuskan pengguna tempat wudhu membungkuk lebih dalam untuk mengambil air sehingga mengganggu kenyamanan wudhu. Berdasarkan hasil kajian pada tahap pertama, tinjauan ergonomi untuk ketinggian kran direkomendasikan berada pada kisaran 85 cm.
Kisaran ketinggian kran tersebut bervariasi bergantung pada posisi tempat wudhu. Untuk tempat wudhu dengan posisi berdiri, posisi kran direkomendasikan pada ketinggian antara 85 hingga 100 cm. Sementara untuk tempat wudhu dengan posisi duduk, posisi kran harus lebih rendah, yaitu antara 70 hingga 85 cm.
Gambar 4.18
Contoh Ketinggian Wudhu yang berdiri dan duduk
Gambar 4.19
Wudhu dan Ukuran Ketinggian Keran
Gambar 4.20
Wudhu dan Ukuran Ketinggian Keran
Gambar 4.21
Tempat Wudhu yang Ergonomis dalam Implementasi Wudhu Berdiri
Gambar 4.22
Ukuran Tempat Wudhu yang Ideal
Gambar 4.23
Konstruksi Tempat Wudhu Beserta Ukurannya
Pilihan (preferensi) tempat wudhu dilakukan dengan berdasarkan pada konsep ergonomi tempat wudhu, yaitu untuk mengetahui model tempat wudhu yang paling memberikan kenyamanan ketika berwudhu. Paling tidah terdapat 4 model tempat wudhu yaitu:
- Model A : tempat wudhu tanpa pijakan kaki (grill) dengan ketinggian kran 65 cm, jarak antar kran 90 cm, tinggi saluran air 25 cm.
- Model B : tempat wudhu dengan pijakan kaki (grill) dengan ketinggian kran 85 cm, jarak antar kran 85 cm, tinggi pijakan kaki 30-40 cm.
- Model C : tempat wudhu dengan pijakan kaki (grill) dengan ketinggian kran 100 cm, jarak antar kran 90 cm, tinggi pijakan kaki 40-50 cm.
- Model D : tempat wudhu duduk dengan pijakan kaki (grill) dengan ketinggian kran 85 cm, jarak antar kran 90 cm, tinggi pijakan kaki 40-50 cm.
Air sisa wudhu berpotensi untuk dapat dimanfaatkan kembali sebagai air untuk irigasi atau air untuk menyiram toilet (flushing water) (Griggs,et.al, 1998). Dalam pemanfaatan kembali tersebut, air sisa wudhu (greywater) sebaiknya tidak disimpan lebih dari 1 hari kecuali jika air sisa wudhu tersebut diberi disinfektan (Hodges, 1998). Konsep pemanfaatan kembali air bekas wudhu yang merupakan greywater telah banyak diterapkan di berbagai belahan dunia, terutama di negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim. Masjid King Abdalah yang terletak di Yordania pada tahun 1997 telah mengimplementasikan konsep pemanfaatan kembali air bekas wudhu untuk keperluan irigasi dan menyiram toilet atau flushing water (Al-Kofahi, 1999).
Lebih lanjut Al-Kofahi menginventarisasi bahwa program yang sama juga diterapkan di Masjid Al-Mafraq, Yordania, pada tahun 1999. Pada tahun 2001, di Tafila, Yordania, dilaksanakan program pemanfaatan air bekas wudhu untuk mengairi perkebunan zaitun (Surani, 2003 dan Al-Naber dan Shatanawi, 2004). Di Yaman, tradisi menggunakan kembali air bekas wudhu untuk irigasi dan menyirami tanaman telah ada sejak masa 500 tahun yang lalu (Al-Nozaily, et.al., 2008). Lebih lanjut, Al-Nozaily menjelaskan bahwa konsep manajemen pengairan di Yaman tersebut tidak terlepas dari keberadaan masjid sebagai pusat kegiatan sosial dan keagamaan. Sumber air berupa sumur air tanah terletak di dekat masjid. Penduduk yang bertempat tinggal di sekitar masjid dapat menggunakan air sumur tersebut untuk keperluan domestik. Di dalam masjid, terdapat kolam kecil yang disebut Maghates atau Mataheer yang dipergunakan sebagai air untuk berwudhu. Kolam kecil tersebut dibersihkan setiap 2-3 hari sekali untuk menjaga kebersihan dan higienitasnya. Air bekas wudhu tersebut dikumpulkan kembali dalam sebuah kolam (lihat Gambar 4.2). Karena air bekas wudhu tersebut tidak mengandung sabun atau detergen dan relatif bersih, air bekas wudhu dipergunakan kembali untuk irigasi perkebunan dan taman yang ada di sekitarnya atau biasa disebut Meqshamah. Meqshamah sendiri pada umumnya ditanami sayur-sayuran, seperti bawang merah, bawang putih, mint, dan lobak.
Gambar 4.24
Konsep Pemanfaatan Air Wudhu Bekas untuk Tanaman
Efisiensi konsumsi air diperoleh dengan menggunakan jenis kran yang paling efisien. Berdasarkan hasil uji kran pada beberapa merk kran, diperoleh bahwa kran dengan merk Fio merupakan kran yang paling efisien. Pemilihan jenis kran juga harus memperhatikan aspek kenyamanan, meliputi:
- Besar tekanan air yang keluar. Makin besar tekanan air keluar maka makin terasa sakit ketika mengenai kulit sehingga terasa tidak nyaman.
- Lebar aliran air yang keluar. Makin lebar aliran air keluar maka makin besar pakaian pengguna terkena cipratan air sehingga tidak nyaman
6. Menara
Menaramasjid adalah arsitektur berupa menara yang berada di areal masjid. Umumnya berupa menara tinggi dengan kerucut atau mahkota berbentuk bawang, biasanya berdiri sendiri atau lebih tinggi dari struktur di sekitarnya. Bentuk dasar dari menara ini mencakup dasar, poros, dan galeri. Gayanya bervariasi sesuai wilayah dan periode waktu. Menara memberikan titik fokus visual dan secara tradisional digunakan untuk panggilan salat bagi Muslim (Azan).
Tujuan dari arsitektur menara masjid tradisional di Wilayah Timur adalah sebagai sistem ventilasi suatu bangunan pada iklim yang panas. Biasanya, bangunan ini terdiri dari sebuah menara besar dengan jendela membuka yang memungkinkan udara dingin masuk, dan sebuah kubah di tengah-tengah bangunan yang memiliki bukaan di langit-langit yang (secara hipotetis) berfungsi mengakumulasi dan mengalirkan udara hangat ke luar bangunan melalui sebuah cungkup. Asal-usul bangunan dari timur tengah dengan fitur arsitektur yang luar biasa adalah disengaja. Masjid-masjid biasanya memiliki pusat ruangan dengan langit-langit tinggi atau kubah sehingga memungkinkan panas terkumpul dan mengalir ke atas dan membiarkan udara dingin di lantai bawah memungkinkan untuk sistem penyejuk udara alami.
Namun, pada zaman modern, dengan penemuan penyejuk udara modern, tujuan dari menara telah berubah menjadi simbol tradisional. Menara kini dilengkapi dengan pengeras suara berfungsi untuk memanggil orang-orang untuk sholat di negara-negara Muslim. Selain itu untuk memberikan isyarat visual untuk komunitas Muslim, fungsi utama saat ini adalah untuk memberikan sudut pandang dari mana panggilan salat, atau azan, dilakukan. Adzan dikumandangkan lima kali setiap hari: fajar, tengah hari, sore hari, matahari terbenam, dan malam. Pada masjid-masjid paling modern, adhān dikumandangkan dari musallah (ruang doa) melalui mikrofon ke sistem pengeras suara pada menara.
Gambar 4.25
Ragam Menara sesuai dengan daerahnya
Contoh 1 Menara Masjid | Contoh 2 Menara Masjid
|
Contoh 3 Menara Masjid | Contoh 4 Menara Masjid |
7. Sirkulasi Ruang
Akses sirkulasi pada ruang yang terdapat pada bangunan masjid difungsikan sebagai akses keluar masuk jama’ah menuju ruang sholat. Ruangan ini harus memiliki standar kenyamanan dimana faktor-faktor yang mempengaruhi kenyamanan (Hakim, 2006) yaitu:
- Sirkulasi
Sirkulasi sangat berkaitan dengan kenyamanan, sirkulasi yang kurang baik sangat berpengaruh terhadap kenyaman suatu individu. Terdapat banyak faktor yang membuat sirkulasi menjadi kurang baik, seperti sirkulasi yang jauh dari tempat yang dituju, sirkulasi yang tidak jelas pembagiannya antara sirkulasi manusia dan sirkulasi kendaraan, atau sirkulasi yang tercampur antara hal yang berbeda, seperti sirkulasi mobil dan motor yang menjadi satu, atau sirkulasi antara pria dan wanita pada masjid yang tercampur.
- Alam atau iklim
Terdapat banyak faktor iklim yang berpengaruh pada kenyamanan suatu individu, seperti radiasi matahari; karena panasnya dapat mengurangi kenyamanan terutama pada siang hari, lalu ada angin, curah hujan, suhu. Faktor iklim ini berpengaruh terhadap kenyamanan fisik, karena berhubungan dengan apa yang dirasakan oleh fisik atau tubuh individu tersebut.
- Kebisingan
Kebisingan biasanya bersumber dari daerah yang padat penduduk, seperti perkotaan dan jalan raya. Kebisingan adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kenyamanan pengguna di masjid. Apalagi untuk beribadah membutuhkan ketenangan agar dapat beribadah dengan khusyu’. Cara untuk mengurangi kebisingan adalah dengan menggunakan material yang dapat meredam suara dengan baik.
- Keamanan
Keamanan merupakan faktor yang sangat penting dan dapat sangat mempengaruhi kenyamanan pengguna, karena rasa aman sangat dibutuhkan bagi individu, jika seseorang merasa tidak aman dapat mengganggu dan menghambat aktivitas yang akan dilakukan. Keamanan tidak hanya tentang kejahatan, tapi juga termasuk kekuatan konstruksi, bentuk ruang, dan letak ruang.
- Kebersihan
Kebersihan pada masjid merupakan hal yang sangat penting, karena masjid merupakan tempat ibadah yang suci. Kebersihan juga berpengaruh terhadap kenyamanan pengguna karena dalam beribadah harus suci dan bersih agar dapat khusyu’ dalam beribadah.
Tata ruang adalah penataan ruang yang terdiri dari beberapa ruang yang disusun menjadi satu kesatuan dengan memperhatikan fungsi ruang dan sirkulasi yang ada didalamnya. D.K. Ching berpendapat adanya sifat hubungan ruang, yaitu ruang dalam ruang, ruang yang bersebelahan, ruang yang dihubungkan bersama, dan ruang yang saling mengunci.
Tata ruang masjid pada masa kini merupakan pengembangan tata ruang masjid Nabawi pada masa awal, sehingga tata ruang masjid Nabawi merupakan asal muasal dari tata ruang masjid pada masa kini. Selain itu, tata ruang masjid memiliki aturan syariah tersendiri yang berkaitan dengan agama.
Gambar 4.26
Tataruang Masjid yang Minimalis
Standar tata ruang masjid yang merucut pada masjid nabawi dikategorikan sebagai berikut:
- Memiliki denah berbentuk bujur sangkar yang dinilai merupakan bentuk yang paling efisien untuk mewadahi kegiatan sholat berjamaah dikarenakan tidak akan terdapat shaf shalat yang terputus.
- Dikelilingi dinding di setiap sisinya, yang merupakan tuntutan dari syarat wakaf bahwa masjid harus diketahui batasannya.
- Dengan ruang shalat beratap di arah dinding kiblat, untuk menegaskan kedudukannya sebagai hirarki kegiatan yang paling tinggi dibanding kegiatan lainnya.
- Memiliki beranda/serambi yang berada di luar bangunan inti masjid. Berfungsi sebagai peralihan antara ruang dalam dan ruang luar.
- Halaman terbuka. Berfungsi sebagai ruang komunal untuk berkumpul bersama.
Gambar 4.27
Contoh Sketsa Sirkulasi Ruang
D. Tipologi Masjid dan Setting Akustik Masjid
Tipologi bentuk masjid di setiap negara mempunyai ciri khas tersendiri. Di Indonesia terdapat beberapa tipologi bentuk masjid yang didapat dari beberapa hasil penelitian. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Faqih dkk (1991). Kemudian dalam buku tulisan Wiryoprawiro (1986) juga disebutkan tipologi bentuk masjid yang ada di Jawa Timur. Dari Hasil dari penelitian-penelitian tersebut dapat disimpulkan beberapa tipologi bentuk masjid antara lain:
- Denah berbangun bujur sangkar
- Denah berbangun 4 persegi panjang dengan sisi terpanjang mengarah ke kiblat
- Denah berbangun 4 persegi panjang dengan sisi terpanjang tegak lurus arah kiblat Atap datar dan kubah
- Atap kombinasi tajug dengan kubah
- Atap yang berkembang, di mana masing-masing dapat berupa tajug, kubah, atau gabungan di antaranya.
- Bentuk ‘javanese vernacular’. Bentuk ini memiliki ciri atap piramida bersusun.
Dalam memenuhi tujuan masjid untuk penyampaian suara, maka dibutuhkan ruang dengan akustik yang baik supaya distribusi suara bisa merambat secara merata ke seluruh jamaah. Masjid yang digunakan untuk keperluan percakapan, dalam hal ini ceramah atau khotbah disyaratkan untuk memilki distribusi tingkat tekanan bunyi yang merata di seluruh sudut ruangan agar pendengar dapat menangkap informasi yang dikeluarkan pembicara dengan baik di seluruh titik yang ada dalam ruangan (Satriyo, 2005)
Aspek penting pada akustik masjid dapat dilihat dalam tiga hal yakni, arah sumber suara, ruangan untuk percakapan, dan ruangan untuk ibadah. Arah sumber suara penting sebab untuk menambah kekhidmatan beribadah. Saat wajah menghadap ke kiblat, suara juga harusnya berasal dari arah imam. Dengan demikian, pengaturan tata suara di dalam masjid juga sangat penting.
Gambar 4.28
Ilustrasi Akustik Masjid
Manusia itu pada umumnya multymodal perceptor, dia mempersepsi sesuatu itu berdasarkan info yang diterima mata, diterima kulit, hidung dan telinga secara berimbang. Kalau ada salah satu yang terganggu, maka biasanya persepsinya akan terganggu. Dalam hal masjid, karena sifatnya digunakan untuk ibadah harusnya dari mata sudah khusu, hidung khusu, kulit khusu karena adem tapi pada saat mendengar suara menjadi tidak khusu, makanya tidak boleh dilupakan (tata suara) harus diberi porsi yang tepat.
Kecukupan akustik masjid ditandai dengan empal hal yaitu, harus bisa menghadapkan pendengaran ke arah kiblat, harus mencukupi energi untuk mendengar dengan ditambah pengeras suara, mencukupi untuk mendengar, mencukupi untuk menyimak infomasi, dan menghadirkan rasa audial yang unik untuk ruangan masjid.
Permasalahan yang sering muncul ialah waktu dengung yang terlalu tinggi karena meterial bangunan yang keras, lantai keramik, dinding keramik, kubah juga keramik. Kemudian terjadi suara pada frekuensi rendah yang terlalu banyak, disebabkan kurangnya pengaturan sistem tata suara yang baik. Karena sebagian besar aktivitas di masjid terkait dengan suara manusia, oleh karena itu kejelasan suara sangatlah penting dalam sebuah masjid. Bagaimana cara mengatur tata suara yang tepat adalah mengatur sistem tata suara di masjid bergantung pada geometri tata ruang, misalnya apakah masjid bentuknya berkubah, datar, atau limasan. Ruangan berbeda, setting tata suara pun harus berbeda, tidak bisa disamakan.
Gambar 4.29
Ilustrasi Suara dalam Masjid
Beberapa masalah di atas bisa diringkas sebagai berikut:
- Suara tidak jelas atau berdengung.Hal ini terjadi karena akustik ruang masjid tidak memadai. Ruangan masjid terlalu memantul dan menyebabkan suara yang sampai ke pendengar adalah suara-suara pantulannya.
- Suara tidak jernih, pecah, sember, dan kasar.Hal ini terjadi akibat permasalahan sistem audio seperti perkabelan, pengaturan mixer/equalizer.
- Suara terlalu kencang atau terlalu pelan.Hal ini terjadi akibat peletakan sistem audio dan pengaturan kekencangan dari speaker. Sering terjadi suara terdengar kencang di dekat speaker dan terdengar sayup-sayup di area jauh dari speaker.
Beberapa aspek akustik yang perlu diperhatikan oleh sebuah masjid adalah sebagai berikut:
- Secara akustik memenuhi karakteristiknya sebagai tempat ibadah, yaitu memiliki rasa audial yang unik dan terkesan agung. Ketika berada di dalam masjid jamaah ingin merasakan keagungan dan kemegahan dari masjid tersebut. Hal ini dapat dicapai dengan mendesain dengung masjid dengan tepat. Suara pantulan dalam masjid harus mencukupi agar terasa menyelimuti diri jamaah ketika berada di dalamnya.
- Secara akustik memenuhi karakteristiknya sebagai tempat berkomunikasi. Karena kegiatan dalam masjid sebagian besar adalah komunikasi, maka masjid harus mencukupkan kondisi untuk menyimak informasi. Hal ini dicapai dengan mendesain dengung masjid dengan tepat. Jadi meskipun jamaah membutuhkan dengung untuk mendapatkan kesan agung, dengung tersebut harus lah dibatasi supaya kejelasan suara tetap tercapai. Terlalu berdengung malah akan menyebabkan informasi dalam suara sulit untuk dipahami.
- Kemerataan suaradi dalam masjid harus terpenuhi. Sistem audio masjid harus mencukupkan energi untuk mendengar. Sering terjadi suara yang sampai di daerah belakang dan jauh dari speaker terdengar pelan. Hal tersebut dapat menyebabkan jamaah tidak paham apa yang sedang dikatakan oleh imam atau ustadz di depan. Untuk itu, perlu diperhatikan pengaturan speaker dan volume speaker dari sistem audio.
- Arah sumber suaraharus terasa berasal dari arah kiblat. Ini adalah aspek yang sangat penting mengingat fungsi utama masjid adalah sebagai tempat sholat berjamaah. Ketika sholat, jamaah mendengarkan suara imam yang ada di depan, sehingga ketika suara terdengar dari arah belakang maka fokus atau ke-khusyu-an jamaah akan terganggu. Ini bisa saja terjadi ketika jamaah berada di bagian tengah masjid dekat dengan speaker tengah ruangan, tetapi karena speaker tersebut tidak diatur delay-nya, speaker tengah akan bunyi lebih dahulu dibandingkan speaker
Penyebaran suara di masjid tergantung dari tipologi masjidnya. Suara itu itu akan memantul dan terdistribusi seperti digambarkan pada ilustrasi berikut:
Gambar 4.30
Pemantulan Suara Masjid sesuai Tipologi
- Bentuk kubah: memberikan kesan agung, besar, dan megah, tetapi disaat bersamaan dapat menimbulkan masalah pemusatan suara dibawah kubah.
- Bentuk limas:memberikan kesan agung, megah, dan menonjolkan budaya lokal, tetapi menimbulkan masalah pemusatan suara.
- Bentuk datar:bentuk masjid yang cukup banyak ada di Indonesia. Tidak menyebabkan pemusatan suara, tetapi dapat menyebabkan flutter echo.
Agar pemantulan itu bisa dikendalikan, maka perlu adanya upaya untuk mensetting akustik masjid. Akustik ruang bagi masjid yang baik dapat dicapai dengan mengendalikan pantulan dalam ruangan. Namun, pada kenyataannya sulit untuk mengendalikan pantulan di masjid akibat tantangan-tantangan seperti ini:
- Permukaan keras: kita sering lihat bangunan masjid dibangun dengan finishing mewah untuk mendapatkan kesan agung dan megahnya. Finishing tersebut biasanya didapat dengan menggunakan marmer, batu-batu alam, granit, batu, atau kaca-kaca. Finishing keras seperti itu justru akan membuat permukaan masjid sangat memantulkan suara. Kita mendapatkan dengung yang menghasilkan kesan agung, tetapi di sisi lain dengung tersebut menjadi berlebihan dan akhirnya malah menjadikan suara tidak jelas. Contohnya, dinding masjid yang sebagian besar dibuat dengan marmer, tentunya akan sangat memantulkan suara, sulit untuk menentukan bagian mana yang harus di-treatment pada masjid jenis tersebut.
- Bentuk masjid juga sangat memengaruhi pantulan. Masjid dibuat besar dan tinggi untuk memunculkan kesan agung, tetapi hal ini membuat dengung masjid semakin tinggi. Contohnya pada gambar di bawah ini, finishing yang keras, volume masjid yang besar memperparah dengung dalam masjid. Selain itu, bentuk bagian atas masjid perlu diperhatikan. Pantulan dipengaruhi oleh bentuk masjid.
Untuk menyetting agar akustik tepat maka bisa melakukan hal sebagai berikut:
- Untuk men-treatmentmasjid, perlu mengendalikan pantulan di dalam masjid dengan menggunakan peredam suara tipe bahan penyerap suara (absorber). Bahan penyerap suara terbagi menjadi material berongga (porous) dan material resonator. Material porous berciri lunak, berpori, dan digunakan untuk frekuensi mid treble (mid high). Material yang sering kita temui adalah sajadah, gorden, dan langit-langit akustik tile. Selain itu Acourete juga memiliki material porous seperti Acourete Board, Acourete Fiber, dan Acourete Diathonite Acoustix+.
- Material berongga (porous)digunakan untuk frekuensi rendah dan rentang yang sempit. Material ini dibuat dari papan atau panel yang diberi rongga-rongga seperti perforated panel, contohnya Acourete Perfowood. Selain itu, material ini dapat dibuat dari material absorber yang dipasang dengan celah, contohnya Acourete Board yang dipasang dengan rangka bercelah.
- Jika masjidnya berdengung tinggi, hal yang perlu di-treatmentadalah lantainya. Perhatikan apakah sudah dipasang sajadah atau belum. Sajadah dapat berperan sebagai material absorber Kemudian, jika ruangannya masih tetap berdengung dengan adanya sajadah, kita dapat men-treatment langit-langit dengan menggunakan acoustics tile atau absorber yang dipasangkan di langit-langit. Hal ini, dengan syarat langit-langitnya tidak terdapat banyak ornamen.
- Jika masjidnya bermasalah akibat kubah, kita dapattreatment kubahnya dengan memasang absorber pada kubah. Di bawah ini merupakan projek Acourete di Masjid Baiturrahman Kuala Kencana Freeport. Masjidnya sangat berdengung, sehingga perlu ditambah material penyerap suara. Acourete menyarankan menggunakan Acourete Board pada kubahnya, dan hasilnya cukup mengurangi dengungan dengan baik. Jika tidak ingin mema-kai absorber dengan finishing cat, bisa meng-gunakan Acourete Diathonite Acoustix+ yang memiliki finishing seperti plasteran tembok.
- Langkah berikutnya bisa dengan memberikan material absorberdengan finishing kayu seperti Acourete Perfowood jika sesuai dengan interior masjidnya. Di bawah ini merupakan projek Acourete di Masjid Agung Sarolangun, Jambi. Suara dengung di dalam masjid diatasi dengan menggunakan penyerap suara Acourete Perfowood dengan nuansa coklat kayu.